Tuesday, September 8, 2009


Siapkah anda? Are you ready?

Anwari Doel Arnowo

Thursday, September 22, 2007

Are you ready? Itu biasa diucapkan oleh seorang performer. Seorang pembawa acara konser musik rock, sering sekali menggunakan kata-kata ini. Demikian seorang pimpinan sebuah band musik atau seorang penyanyi terkenal. Biasa, selanjutnya akan menyusul tepukan tangan dan jingkrak-jingkrak atau goyang-goyang badan diikuti oleh para hadirin.

Yang saya ingin gunakan saat ini adalah kata-kata yang sama tetapi untuk keperluan lain.

Saya ingin menggugah para pembaca karena mungkin pembaca sedang terlena. Terlena karena kesibukan sendiri, karena memang mungkin tidak merasa perlu untuk memulai dan memikirkannya.

Are you ready – apakah anda sudah siap??

Siap apa?

Apakah anda siap menerima bahwa anda akan merasa, tiba-tiba menjadi tidak lebih pintar kalau dibandingkan dengan tingkat pintar dan tingkat pandai anak-anak, bahkan dengan anak-anak anda sendiri sekalipun?

Apa pula ini?

Begini, Bung!

Hari ini saya terperangah, merasakan dalam hati saya, bahwa saya ini adalah seorang manusia yang lebih pintar dan lebih pandai dari kakek saya sendiri. Benarkah begitu? Beliau, Kakek Arnowo meninggal dunia pada usia muda pada tahun 1922, pada waktu mencapai usia 43 tahun. Waktu itu ayah saya, Doel Arnowo, masih berusia 18 tahun. Ibunya ayah, meninggal pada usia sekitar 94 tahun dan ayah saya sendiri meninggal pada tahun 1985, mencapai usia 80 tahun.

Saya mengatakan bahwa saya lebih pintar dan lebih pandai, semata-mata hanya karena saya tidak hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kakek saya itu.

Tahun ini tahun 2007 adalah 84 tahun setelah kakek saya meninggalkan dunia ini. Jadi yang saya sebut kelebihan kepintaran dan kelebihan kepandaian adalah kelebihan ilmu pengetahuan yang beda waktunya saja berbeda delapan dekade lebih empat tahun. Lagi pula pada waktu kakek saya tiada, saya kan terlahir baru enam belas tahun kemudian.

Kembali ke: Are you ready? Sudah ready kah saya, sudah siapkah saya untuk menerima pada saat ini atau beberapa tahun lagi, bahwa saya bisa saja tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh anak-anak saya, bahkan cucu-cucu saya??

Kalau benar terjadi seperti itu apakah sikap bijaksana yang harus saya ambil, bagaimana menyikapi kejadian seperti ni? Saya bisa saja bertanya, dan mendapat jawaban yang membuat saya masih tidak dapat mengerti. Tak memahami. Apa saya harus tidak peduli? Tak ambil hati dan melupakan saja?? Ah memang banyak pilihan, akan tetapi yang manakah sebaiknya diambil sehingga tetap dapat akrab dengan anak-anak dan cucu-cucu?? Tetap dapat disebut sebagai orang tua yang baik dan bijaksana? Untuk mengerti maka harus belajar, sedang mungkin saja otak saya, kurang sanggup secara cekatan mengikuti apa yang dibicarakan.

Orang tua dan orang yang dapat disebut sebagai senior, condong untuk dapat mempunyai mindset dan prinsip yang tetap dan kokoh. Condong juga untuk berkeras kepala bahwa yang diketahuinya dan yang dipahaminya adalah yang paling benar dan tidak dapat berubah dengan cara apapun.

Saya maupun anda mestinya bisa menyetujui bahwa hal seperti inilah yang menyebabkan adanya generation gap, sebuah kerenggangan atau pembatasan antara dua generasi. Saya ingin menunjuk conto-conto seperti dibawah ini.

Bagi saya, yang amat mengesankan dalam hidup saya adalah momentum-mometum dan proses-proses ketika terjadinya serta berlangsungnya kemerdekaan negara kita dan amat kentara sekali ditengarai dengan adanya pengoemoeman mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian perang menghadapi agresi belanda antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Setelah penyerahan Kedaulatan oleh belanda pada tanggal 27 Desember 1949, saya mengingat, bahwa itu adalah momentum yang maha penting, tidak boleh sekali-sekali dilupakan selama seumur hidup saya.

Tetapi apa lacur?

Hal yang amat penting seperti itu oleh anak sayapun saat ini sudah seperti sesuatu hal yang tidak pernah terjadi, hal yang tidak pernah ada. Apa lagi bagi cucu-cucu saya!! Tidak ada seorangpun yang tahu. Kalaupun saya beritahu, maka paling tinggi, dia akan mengangguk-anggukkan kepala dan akan mengiyakan apapun kata saya, kira-kira dengan mindset yang berbunyi: Whatever you say, Grandpa - atau Iya Deh, Kek!

Jangan-jangan bisa saja kata-katanya: reseh amat sih!

Salah seorang anak saya waktu belajar di Sekolah Menengah Pertama, mengatakan dengan tergesa-gesa sesampainya di rumah: “Kakek ku itu seorang Pahlawan, ya Bu?”

“Mengapa kamu bertanya seperti itu?” tanya istri saya.

“Waktu pelajaran Sejarah di kelas tadi, guruku mengatakan bahwa nama kakek itu disebut sebagai salah satu pahlawan” Kali ini saya merasa bahwa salah satu sebab adanya generation gap itu adalah saya juga, karena tidak sempat menceritakan kepada anak saya mengenai kakeknya dan dia mengetahuinya dari orang lain. Masih beruntung dia dengar yang benar dan dari salah seorang gurunya pula.

Kalau saja si anak mendengar yang berlawanan dengan yang diajarkan oleh bapaknya, maka akan memerlukan waktu bagi si anak untuk menyesuaikan diri dalam menyikapi perbedaan pendapat antara pendapat orang tuanya dengan pendapat orang lain tadi.

Untuk yang seperti ini patutlah kita bersiap diri lagi dengan menjawab pertanyaan: Are you ready?

Yang saya sitir tadi adalah dalam lingkungan keluarga sendiri. Bagaimana dengan saudara atau famili diluar keluarga sendiri?

Bagaimana dalam masalah yang menyangkut kehidupan sehari-harinya, dalam menanggapi masalah kenegaraan dan pemerintahan serta politik? Juga ideologi dan agama?

Saya merasakan bahwa hal-hal seperti disebutkan itu telah tidak sama dengan keadaan pada waktu lima puluh tahun yang lalu. Tahukah anda pada saat ini ada dan bahkan banyak “anak bau kencur” yang telah berani berkata kepada kita antara lain bahwa “Agama Islam itu ada lebih dari 60 aliran dan yang terbaik hanyalah ada satu. Kalau datang ke (menyebut suatu tempat) nanti akan bisa melihat bahwa sekarang sedang diusahakan, agar semua pihak dapat masuk kedalam satu aliran yang benar itu tadi.” Itu kan kata dia, diusahakan untuk diseragamkan? Apakah selama ini ada yang berhasil menyeragamkan sesuatu? Sejak jaman sebelum adanya agama di dunia ini, belum pernah ada yang berhasil menyeragamkan sesuatu di seluruh dunia. Jangankan di seluruh dunia, didalam lingkungan sendiri saja tidak ada satupun yang berhasil. Kita akan terkagum-kagum terhadap keberagaman manusia dalam pola pikir, dalam pola tindakan dalam menjalani kehidupan masing-masing.

“Anak bau kencur” tadi umurnya masih kurang dari separuh umur kita. Dia entah sadar atau tidak, telah “mengajak” seorang senior, seorang yang umurnya sudah lebih dari dua kali umurnya sendiri, untuk mengikuti aliran yang amat dipercayanya dan dianutnya.

Kami, maafkan saya, telah makan asam garam dunia ini di‘ajar’i oleh seorang yang bau kencur? Ah, mungkin saja sikap kita waktu itu, adalah seperti sikap cucu saya sendiri kalau saja, misalnya saya beri cerita mengenai penyerahan kedaulatan oleh belanda kepada Republik Indonesia Serikat.

Mengangguk-angguk dan mengiyakan dan biarpun tidak dikatakan secara verbal dengan jelas serta lantang, di dalam hatinya mungkin sekali mengatakan: “whatever you say-atau- IYA DEH!!” Cepat ya dunia terbalik atau berbalik? Sebagai basa basi saya dengar istri saya menyahut: ”Waduh, enam puluh? Banyak benar, ya? Saya harap saja apapun yang terjadi, kita ini semua masih bisa bersatu dan tidak menjadi lawan satu sama lain!” Mendengar jawaban seperti itu si pemuda itu terdiam dan kehabisan kata-kata. Yang jelas dia ini kelihatannya tidak mempunyai “ilmu menjual” sehingga tidak mampu lagi melanjutkan pembicaraan karena tidak siap dengan bahan “promosi”. Sinyalemen akan terjadi permusuhan memang amat tepat sekali, mengingat militansi pendapat yang dianutnya adalah demikian kakunya sehingga rela untuk meneteskan darah bahkan mengorbankan nyawa untuk melindungi dan membela pendiriannya.

Perubahan besar telah saya rasakan sejak lama, ketika melihat penderitaan batin Bung Karno dan juga ayah saya yang memang satu aliran, terhadap pengorbanan rakyat untuk kepentingan beberapa orang pejabat saja. Mereka adalah conto terdekat pada diri saya untuk mengamati situasi. Sejak saat saya menyadari gambaran kekecewaan mereka, saya sudah menyimpulkan dengan samar dan keyakinan yang belum bulat, bahwa saya tidak ingin untuk mengalami kekecewaan seperti yang mereka alami itu. Saya akan membuat diri saya mencari jalan terbaik bagi diri saya agar dapat menghindarkan diri dari derita yang dialami kedua beliau itu. Saya akan membuat ukuran dengan cara saya untuk diri saya, agar bisa menghimpun kesiapan bagi diri saya menghadapi segala hal yang bisa membuat kecewa.

Menhindari kekecewaan hati sendiri. Sekarang ini saya sudah mulai bisa membuat batasan-batasan bahwa saya harus bisa merelakan sesuatu yang telah menjadi idaman saya sejak lama.

Akan tetapi dalam proses mencapainya kalau memang itu bukan kelas saya, bukan rejeki saya atau memang tidak memungkinkan bagi diri saya untuk mencapainya, maka saya akan menyurutkan langkah.

Surut langkah saya ini, bukan berarti saya ini menyerah kalah. Tetapi mencari jalan lainnya yang lebih kecil risikonya dan lebih mudah proses pencapaiannya, tanpa merugikan pihak manapun.

Pepatah lama mengatakan: Ada banyak jalan ke Roma!

Sebuah ungkapan yang pernah saya punyai stickerya, berbunyi: I do not want to be a millionair, but I want to live like one – Saya tidak ingin menjadi jutawan, akan tetapi saya memang ingin hidup seperti seorang jutawan. Itu pernah saya rasakan ketika saya bekerja di sebuah perusahaan, dimana saya bisa melakukan perjalanan ke-negeri-negeri lain dengan menggunakan First Class Trips akan tetapi saya bukan millionair. Naik pesawat kelas satu dan tinggal di Hotel kamar suite serta makan di tempat-tempat yang memang patut menyandang julukan cuisine. Sempat naik pesawat Concorde juga. Semua itu dibayar oleh perusahaan dan saya tidak melakukan pelanggaran apapun dalam menikmati fasilitas yang disediakan secara sah, oleh karena memang begitu peraturannya.

Kalau saya ngotot menjadi millionair terlebih dahulu pasti saya akan terlibat perolehan uang yang dapat diberi kategori kurang bersih. Bukan semua orang bisa mencapai kedudukan sebagai seorang millionair dalam Dollar Amerika Serikat. Millionair Rupiah di Indonesia banyak sekali, mungkin barang siapa pun yang memiliki sebuah koelkast maka dia sudah berhak disebut sebagai millionair Rupiah.

Dengan mengambil sikap zona aman seperti itulah saya telah selamat dari godaan syaiton. Zona aman adalah zona yang dapat kita ciptakan sendiri. Tanpa memikirkan zona aman seperti ini maka hidup kita mungkin akan terengah-engah dan tidak terkendali dengan mantap.

Untuk dapatnya kita bisa disebut dengan ready yang sesungguhnya, itu adalah sebuah on going process – sebuah proses sambung-menyambung tanpa putus. Berhasil satu kali bukan menjamin berhasil selanjutnya. Pencapaian-pencapaiannya haruslah dilakukan pada setiap waktu pada waktu dirasakan diperlukan.

Kalau anda dikalahkan oleh cucu sendiri biasanya itu dalam ilmu pengetahuan, tetapi seorang senior biasanya juga mempunyai senjata pamungkas dalam menandingi mereka yang masih muda-muda: kebijakan.

Hal-hal yang bijak yang dipunyai seorang yang sudah senior biasanya belum banyak dimiliki oleh mereka yang masih belia. Itulah perlunya agar dilakukan penggalian dan digunakan, dengan aplikasi yang benar.

Jangalah membuat hal-hal bijak yang telah dimiliki oleh seorang senior, membiarkan menjadi muspro, membiarkan tidak terpakai atau mubazir.

Yang sebenarnya sudah ada didalam diri para senior hanya saja tidak digali secara tajam dan kurang pengamatan sehingga lepas dari ketepat-gunaan.

Anwari Doel Arnowo

Toronto, Saturday, September 22, 2007 - 2:48:00 AM

---ooo000ooo---

No comments: