Monday, December 7, 2009

Santai saja dalam memikirkan isinya

71.5 years




Anwari Doel Arnowo - 8 Desember, 2009

DESKRIPSI

Cara-cara memberi gambaran

TUHAN.

Digambarkan sebagai Yang Maha macam-macam, yang baik-baik dan hebat-hebat semua. Saya tidak berkeberatan. Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mulia, Yang Maha Pengasih Dan Penyayang, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Tau dan lain-lain puja puji.

Eh sebentar, bukankah diajarkan di dalam agama manapun juga, kalau pemeluk agama atau kepercayaan itu alpa dan lupa merentas, merintis serta menapak jalannya kehidupan yang bertentangan dengan jalan agama, berlawanan dengan jalan yang baik menurut penafsiran agama yang memandang segala sesuatu dengan sudut pandang kepercayaan agama itu, maka si pelaku akan dijatuhi hukuman di alam yang ada sesudah masa kehidupan kita di dunia fana. Hukuman tidak menyembah Tuhan berupa siksaan di Neraka yang akan dialaminya nanti dengan segala jenis siksaannya. Di bagian yang di sini, di hati saya timbul keraguan: Apakah benar siksa berkepanjangan akan ditimpakan kepada si pendosa seperti itu? Hukuman melalui undang-undang sebuah negara yang jelas bikinan manusia saja, ada batas waktu hukumannya. Misalnya setengah tahun, sepuluh tahun malah seumur hidup. Ada remisi lho. Apa sih jenis siksanya? Dibakar dengan api Neraka terus-terusan? Dibakar seperti apa? Apanya yang dibakar? Bukankah tubuh yang akan merasakan panas pembakaran, sudah tertinggal di dalam tanah kuburan, dan yang melayang ke dunia sana setelah mati hanya sukmanya, nyawanya dan ruhnya saja. Bisakah nyawa, ruh maupun sukma itu dibakar dengan api? Banyak mereka yang disebut sebagai pemuka agama dan ahli agama atau para penginjil dan para kyai memberikan gambaran bahwa Tuhan itu akan menyiksa siapapun mahluk yang tidak menghormati Tuhan, malah kadang-kadang juga kurang mengikuti ajaran agamanya?? Di sinilah ada ke rancuan antara agama dan Tuhan. Menyembah Tuhan? Seratus persen saya setuju. Menggunakan agama untuk menyembah Tuhan? Seratus persen saya juga setuju. Tetapi memberi perlakuan kepada agama seperti kepada Tuhan, apalagi men-sejajar-kan dengan Tuhan, saya pikir bahwa saya harus bilang: tunggu dulu. Bagi yang ingin seperti ini, silakan, saya tidak bersedia memberi komentar. Silakan saja. Saya hanya minta agar saya dibiarkan bebas dengan jalan pikiran saya. Saya juga sudah pernah mencoba mngeluarkan pendapat seperti ini secara langsung kepada orang lain, mendapat sanggahan, bahwa saya salah dalam menafsirkan dan lain-lain sanggahan. Tetapi para penyanggah tadi terlihat tidak mampu untuk meyakinkan diri saya, karena argumennya mulai agak tidak terarah. Bukannya menjawab yang mampu membuat hal tersebut menjadi terang benderang, tetapi malah mengalihkan status saya selaku si penanya menjadi si pendosa. Di sini titik mulainya sambungan memasuki daerah komunikasi yang dalam kondisi kritis.

Tidak nyambung dengan lancar, tentu saja sulit dilanjutkan. Bisa memicu permusuhan.

AGAMA.

Digambarkan selalu sebagai sesuatu yang ajaranya pasti dan tidak boleh dibantah bahwa agama selalu benar. Mengingat bahwa agama di Indonesia pada saat ini yang diakui ada lima buah, yakni Islam, Kristen, Hindu, Kong Hucu serta Buddha, maka mungkin sekali perlu ditinjau lagi apa sudah benar seperti itu. Menurut definisi yang saya baca di search engines yang ada, Buddhism adalah ajaran Buddha, bukan agama. Kasarnya malah ada yang menyebutkan bahwa di dalam Buddhism tidak ada unsur yang biasa disebut dengan istilah Tuhan. Saya tidak tau persis, tetapi saya baca juga bahwa seorang Buddhist tidak dilarang apabila memeluk kepercayaan dan agama lain. Kalau benar apa kata search engine ini, maka pemerintah akan sibuk dan repot meresponsnya di masa yang akan datang. Perlu dikaji apa yang saya kemukakan di bawah ini.

Saya pernah mengikuti sebuah ceramah oleh seorang yang mendalami agama di Jepang. Menurut dia, seorang Professor bidang agama berkebangsaan Jepang, ada lebih dari belasan ribu agama di negara Kekaisaran Jepang. Saya juga melihat sendiri di Jepang, selama beberapa tahun tinggal di sana, bahwa agama mereka itu bermacam-macam bentuk dan ritualnya. Di dalam konstitusi, undang-undang dasar negara Kekaisaran Jepang, agama tidak diijinkan untuk dipraktekkan di tempat umum seperti tempat kerja, tempat belajar seperti sekolah dan di luar rumah tinggal. Ada kisah serombongan pekerja asal Indonesia memulai masa kerjanya di sebuah pabrik. Tentu saja yang pertama-tama mereka ingin mendapatkan adalah tersedianya fasilitas bersembahyang, semacam ruang kecil untuk mushola. Apa jawab pengelola pabrik?

Saya bisa saja memberi fasilitas berupa tempat seperti itu, tetapi saya tidak dibolehkan untuk memberi dan menyediakannya di dalam lingkungan kerja kita. Itu akan melanggar undang-undang.

Itulah dunia di luar dunia yang kita kenal selama ini, terlepas dari kita suka atau tidak.

MANUSIA.

Saya ingin menggambarkan bahwa manusia itu sejak dalam bentuk sel telur, janin sebelum lahir memang sudah berbeda-beda, tidak ada yang sama. Bahkan yang terlahir kembar dua atau lebih sekalipun tidak ada yang sama. Yang bisa sama persis itu mungkin hanya robot-robot saja di masa yang akan datang. Yang paling mendekati keseragaman itu hanya satuan militer. Manusia tidak saja berlainan fisik akan tetapi juga amat pasti berlainan pikirannnya. Seratus persen lain. Tidak sama. Yang ingin saya simpulkan adalah: Janganlah sekali-kali kita ini berkeinginan agar mampu menyamakan manusia, apalagi menyeragamkan manusia, yang manapun kelompoknya. Sebesar apapun sebuah kelompok manusia pasti pada saatnya akan hancur berantakan. Mari kita perhatikan sejarah manusia. Dari kerajaan, kesatuan karena ras, karena ideologi dan apapun, kalau sudah membesar dan membesar pasti akan hancur mengecil dan mengecil serta akhirnya hilang dari peredaran. Kebesaran Roma, Majapahit, Khu Bilai Khan, Nazi Jerman, Tentara Amerika di Viet Nam, Uni Sovyet. Silakan mengamati apapun yang sekarang sedang membesar, pasti pada waktunya akan datang masa pengecilannya secara alami. Anda tau kan selebriti politik atau selebiti dunia hiburan. Mereka timbul dan bergantian berguguran, secara alamiah. Yang memiliki suara menyanyi, yang lantunannya pernah merajai dunia seperti Bill Halley, Elvis Presley, Sam Saimun dan Bing Slamet, atau pelawak The Three Stooges, pemimpin seperti Mussolini serta Moshe Dayan, Soekarno,Kennedy, semuanya, datang waktunya untuk lenyap dan senyaplah suaranya. Apakah anda bisa melihat Berlusconi dari Italia saat ini sedang gonjang-ganjing akan menurun seperti dialami oleh Fujimori di Peru? Pengamatan sejarah kita sungguh akan menajamkan “pengelihatan” kita. Sejarah itu tempat kita untuk melakukan pendalaman pengalaman, menjadi sesuatu yang nyata untuk masa sekarang. Tidak terlalu perlu untuk terikat dengan masa lalu, akan tetapi menyadari bahwa sejarah itu sudah amat dipercayai sebagai sesuatu yang berulang dari waktu ke waktu, seperti digambarkan dalam sebuah pertanyaan yang terkenal dengan ungkapan: “Will History Repeat Itself ??” Dalam menempuh hidup, mengisi kehidupannya, tiap-tiap individu atau makhluk di dunia mempunyai ciri khas sendiri. Jangan disamakan, karena tidak usah disamakan, tidak usah juga diseragamkan. Ini pekerjaan yang amat mustahil. Berpakaian seragam bisa saja, tetapi tidak 24 jam. Di dalam dunia militer saja, seragamnya perlu dilepas kalau sudah tidak berdinas. Anak sekolah juga, setelah pulang kerumah dari sekolah, akan melepaskan seluruh pakaian seragamnya. Sampai di situ saja mereka berseragam, dan itu hanya pakaiannya saja.

Berdasarkan pemikiran tiga hal di atas, saya harap kedamaian di dunia akan meningkat. Itu hanya harapan saya. Boleh saja menjadi salah, dan boleh saja menjadi benar di kemudian hari. Saya TIDAK AKAN membela apa yang saya percayai ini sampai titik darah yang penghabisan. Santai santai saja.

Saya sudah lama juga tidak mengajak orang lain menuruti jalan pikiran saya, yang tentu saja saya pandang benar. Tetapi sejak seseorang dari ras India di Toronto, Kanada pernah mengatakan kepada saya: “What you think is right today, could be wrong tomorrow” saya memberi ruang gerak yang lebih kepada pemikiran ini di dalam kalbu saya.

Anwari Doel Arnowo – 8 Desember, 2009.